
www.titikindonesia.co.id – Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini terus mengalami kemajuan. Banyak hal-hal yang telah menyesuaikan kebutuhan sebagaimana telah diatur di dalam hukum materil, KUHP Nasional, serta dinamika penegakan hukum kontemporer.
Khusus untuk kejaksaan dengan fungsi utamanya sebagai penuntut umum, pembaharuan KUHAP telah menempatkannya sesuai dengan jati dirinya, yakni sebagai pemilik perkara (Dominus litis). Hal ini tampak dari sudah dibuat aturan yang rinci tentang hubungan antara penuntut umum dengan penyidik, yakni dalam proses penyidikan, Penyidik dan Penuntut Umum dapat melakukan koordinasi dan konsultasi untuk menyatukan persepsi
terhadap penanganan dan penyelesaian perkara yang sedang ditangani.
Adanya koordinasi dan konsultasi ini tentu akan memberikan ruang komunikasi yang efektif antara penyidik dan penuntut umum, sehingga tidak berkepanjangan bolak-balik perkara sebagaimana sering terjadi. Kemudian dalam hal fungsi penyidikan yang selama ini juga melekat pada Kejaksaan adalah penyidikan tindak pidana korupsi.
Di dalam pembaharuan KUHAP, hal ini tidak disebutkan secara eksplisit, namun bisa kita lihat didalam penjelasan RKUHAP terakhir, yang menyebutkan, “Penyidik Tertentu” adalah Penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyidik perwira Tentara Nasional Indonesia angkatan laut yang memiliki kewenangan melakukan Penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
di bidang perikanan, kelautan, dan pelayaran pada wilayah zona ekonomi eksklusif dan Jaksa dalam tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.
Jaksa disebutkan sebagai penyidik tertentu, yang mempunyai kewenangan penyidik untuk tindak pidana pelanggaran HAM berat, sehingga apabila disahkan menjadi UU, maka fungsi penyidikan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat diperankan oleh kejaksaan. Pada titik ini, kita harus melihat secara proporsional. Sebagaimana yang menjadi batasan sesuai yang diatur di dalam RKUHAP, kejaksaan hanya bisa menjadi penyidik tertentu pada kasus HAM berat, bukan korupsi.
Sebenarnya klausul ini menjadi ruang, meskipun tidak berkepastian hukum. Menjadi ruang maksudnya jaksa juga bisa menjadi penyidik. Bila kita memperluas makna dari “jaksa sebagai pemilik perkara”, tentu kewenangan penyidikan juga bisa saja dilakukan. Akan tetapi memang saat ini dibatasi oleh UU. Artinya harus melihat pada kebutuhannya. Saat ini untuk tindak pidana korupsi, penyidikan bisa dilakukan baik oleh kepolisian, kejaksaan, maupun KPK.
Khusus untuk kejaksaan, secara universal dengan asas dominus litis tersebut, tidak lah menjadi hal yang rancu ketika kejaksaan juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan. Memang tentu ada keterbatasan, oleh karena itu tidak semua tindak pidana, kejaksaan harus melakukan penyidikan.
Apabila kita melihat pada kebutuhan, dengan intensitas kejadian yang sangat tinggi, sepertinya masih dibutuhkan kejaksaan juga turut langsung melakukan penyidikan khusus untuk tindak pidana korupsi. Hal tersebut juga pada dasarnya memudahkan proses penegakan hukum nya, karena akan lebih efisien sesuai dengan prinsip penanganan perkara yang cepat. Dari sisi sejarahnya, sejak zaman HIR jaksa juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, termasuk korupsi. Dalam perkembangan diberbagai negara juga memberikan kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Artinya, dari berbagai pertimbangan diatas harusnya kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu, termasuk korupsi, masih diberikan kepada kejaksaan.
Bila mencermati apa yang sudah dirumuskan didalam RKUHAP, maka perlu diberikan norma tersendiri mengenai kewenangan kejaksaan untuk dapat menjadi penyidik dalam tindak pidana korupsi, karena terdapat batasan umum yang menyatakan bahwa penyidik adalah kepolisian. Selain itu, dapat pula dimasukan di dalam penjelasan mengenai penyidik tertentu, yang menyebutkan bahwa jaksa dapat menjadi penyidik tindak pidana korupsi.
Kemudian, hal lain mengenai penguatan institusi kejaksaan didalam RKUHAP, yakni diperlukan adanya kejelasan mengenai kewenangan penuntutan, yang didalam RKUHAP ditambah dengan pejabat lain yang diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan, selain dari pejabat kejaksaan.
Didalam penjelasan disebutkan, Pejabat suatu lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan Penuntutan berdasarkan ketentuan Undang- Undang, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi yang berwenang melakukan Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Ketentuan ini tidak memberikan kejelasan, karena pada ketentuan umum disebutkan secara definitif bahwa penuntut umum adalah jaksa. Oleh karena itu, agar sesuai dengan batasan didalam ketentuan umum, yang dimaksud dengan pejabat lain tersebut harus ditegaskan adalah pejabat kejaksaan yang ditugaskan di KPK. Dengan demikian tidak terjadi benturan norma.
Pembaharuan KUHAP saat ini tentu dinantikan oleh semua pihak, dengan harapan semua fungsi-fungsi penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan menyelesaikan berbagai persoalan penegakan hukum yang selama ini terjadi. /Editor adipendes